UNSUR-UNSUR PERCERAIAN
Penulis yang adalah Pengacara Perceraian di Bali akan mencoba memaparkan unsur-unsur perceraian yang limitatif yang ditentukan dalam Undang-undang, sesuai dengan kasus-kasus yang pernah penulis tangani selama ini.
Suami istri memiliki kewajiban sebagaimana diatur dalam Pasal 33 jo. Pasal 34 UU No. 1 Tahun 1974 yaitu diantaranya harus saling mencintai, hormat-menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin dan apabila suami atau istri melalaikan kewajibannya dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri.
Sebenarnya prinsip yang dianut dalam UU No. 1 Tahun 1974 adalah mempersulit terjadinya perceraian, karena perkawinan dibentuk oleh pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan nya di lembaga yang luhur dan suci. Namun demikian, UU No. 1 Tahun 1974 juga tidak melarang adanya perceraian, sepanjang terpenuhinya syarat limitatif yang ditentukan dalam Undang-undang dan peraturan pelaksana lainnya.
Menurut pandangan dan pengalaman penulis yang adalah Pengacara Perceraian di Bali, Kebanyakan kasus cerai di Bali disebabkan karena adanya percekcokan yang terus menerus sebagaimana diatur dalam Pasal 38 jo. Pasal 39 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 jo. Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974, yang menyebutkan “Perkawinan dapat putus karena perceraian, untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri yang disebabkan karena terjadinya cekcok atau pertengkaran yang terus menerus dan tidak ada harapan untuk dirukunkan kembali”.
Yang dimaksud dengan percekcokan yang terus menerus yang tidak dapat didamaikan (Onheelbare Tweespalt), bukanlah ditekankan pada penyebab cekcok yang harus dibuktikan, akan tetapi dilihat dari kenyataan bahwa terbukti adanya cekcok yang terus menerus sehingga tidak dapat didamaikan kembali (vide Putusan Mahkamah Agung RI No. 3180K/Pdt.G/1985).
Menurut hemat penulis, yang adalah Pengacara Perceraian di Bali, umumnya berdasarkan pengalaman, percekcokan yang terus menerus tersebut ditandai dengan kondisi Penggugat dan Tergugat yang sudah tidak tinggal dalam satu rumah sebagaimana layaknya pasangan suami istri.