Ratio Legis Pengaturan harta perkawinan
Lahirnya Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974, yang mulai berlaku efektif sejak tanggal 1 Oktober 1975, merupakan salah satu bentuk hukum di Indonesia tentang perkawinan beserta akibat hukumnya. Berdasarkan Pasal 126 KUHPerdata bahwa perceraian mengakibatkan bubarnya harta bersama sehingga harta bersama tersebut harus dibagi diantara pasangan suami istri. Seiring dengan pengertian harta bersama perkawinan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan KUHPerdata, Kompilasi Hukum Islam juga mengatur pengertian tentang harta bersama yang sama seperti dianut dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan KUHPerdata di atas. Harta bersama perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam diistilahkan dengan istilah “syirkah” yang berarti harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami istri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun.
Harta perkawinan inilah harta atau barang-barang yang dimiliki oleh suami isteri dalam ikatan perkawinan guna dijadikan bekal hidup dan kelangsungan hidup rumah tangga mereka. Harta atau barang-barang itu meliputi baik barang-barang warisan atau hadiah yang diterima oleh masing-masing suami atau isteri sebelum maupun sesudah perkawinan, maupun barang-barang yang diperoleh karena usaha atau jeri payah suami isteri bersama-sama selama berlangsungnya perkawinan. Hukum Adat yang mengatur harta perkawinan ialah semua harta yang dikuasai selama terikat dalam ikatan perkawinan, baik harta kerabat yang dikuasai maupun harta perseorangan yang berasal dari harta warisan, harta hibah, harta penghasilan sendiri, harta pencaharian hasil bersama suami isteri dan barang-barang hadiah.
Menurut ketentuan undang-undang perkawinan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Secara yuridis formal dapat dipahami pengertian harta bersama adalah harta benda suami-istri yang didapatkan selama perkawinan.
Sedangkan menurut KUHPerdata berdasarkan Asas maritale macht, maka dalam Pasal 124 ayat (1) dan ayat (2) KUH Perdata ditentukan bahwa, “Suami sendiri harus mengurus (beheren) sendiri harta kekayaan perkawinan, tanpa campur tangan istri, suami diperbolehkan menjual, memindahtangankan dan membebankan.
Dalam Bab VII Pasal 35 UU Perkawinan diatur tentang harta
benda dalam perkawinan. Ada ketentuan Pasal 35 UU Perkawinan menentukan bahwa:
Ayat (1) menentukan: “Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama”, selanjutnya dalam ayat (2) menyatakan bahwa, “Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan hal lain”.
Ketentuan Pasal 35 Undang-Undang Perkawinan tersebut di atas memiliki kesamaan dengan ketentuan Pasal 36 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Mengingat bahwa hak milik baik secara pribadi maupun secara bersama-sama merupakan hak asasi, maka perlu dipertegas luas lingkup hak milik pribadi dan hak milik bersama dalam suatu perkawinan. Karena, perkawinan sesungguhnya adalah berkaitan dengan hak milik pribadi suami atau istri, juga berkaitan dengan hak milik bersama antara suami dan istri selama dalam perkawinan.
Oleh karena itu, ayat (1) Pasal 35 UU Perkawinan mengatur tentang harta bersama selama perkawinan dan ayat (2) Pasal 35 UU Perkawinan mengatur tentang harta pribadi dari masing-masing suami atau istri. Tegasnya hak milik pribadi sebagai hak asasi dan hak milik bersama sebagai hak asasi harus diatur secara tegas tentang luas ruang lingkupnya agar tidak terjadi kerancuan dan benturan hak milik antara keduanya.
Pengertian Hukum Harta dalam Perkawinan
Hukum harta perkawinan adalah peraturan hukum yang mengatur akibat-akibat perkawinan terhadap harta kekayaan suami istri yang telah melangsungkan perkawinan, hukum harta perkawinan merupakan terjemahan dari kata “huwelijksvermogensrecht”, sedangkan hukum harta benda perkawinan adalah terjemahan dari kata “huwelijksgoderenrecht”. Menurut hukum adat yang dimaksud dengan harta perkawinan ialah semua harta yang dikuasai suami dan istri selama mereka terikat dalam ikatan perkawinan, baik harta perseorangan yang berasal dari harta warisan, harta hibah, harta penghasilan sendiri, harta pencaharian hasil bersama suami-istri dan barang-barang hadiah.
Harta perkawinan itu dapat digolongkan menjadi empat bagian yaitu:
1.Harta yang diperoleh suami atau isteri secara perkawinan yaitu harta bawaan.
2.Harta yang diperoleh suami atau isteri secara perkawinan perseorangan sebelum atau sesudah perkawinan yaitu harta penghasilan.
3.Harta yang diperoleh suami isteri bersama-sama selama perkawinan yaitu herta pencaharian.
4.Harta yang diperoleh suami isteri bersama ketika upacara perkawinan sebagai hadiah yang disebut hadiah perkawinan.
Sedangkan harta bersama yaitu semua harta yang diperoleh selama dalam perkawinan, harta tersebut diperoleh atau jerih payah suami isteri bersama atau oleh suami karena jerih payahnya sendiri, suaminya tersebut adalah menjadi harta bersama. Dalam penggunaan harta bersama ini oleh salah satu pihak suami atau isteri, undang-undang menentukan harus ada persetujuan kedua belah pihak (Pasal 36 UU Nomor 1 Tahun 1974).
Harta benda dalam perkawinan yang dipergunakan UU Perkawinan sesungguhnya mempertegas pemikiran tentang pembedaan hukum benda dengan hukum orang yang dianut di dalam KUH Perdata. Karena, aturan aturan hukum tentang benda berkaitan dengan hak kebendaan, sedangkan perkawinan merupakan hukum pribadi atau hukum orang. Hal ini diperkuat dengan cara memperoleh hak milik melalui pewarisan dimasukkan dalam ketentuan hukum benda bukan dalam hukum orang atau hukum keluarga. Jadi, fokus pembahasannya adalah benda sebagai objek hukum, atau dengan kata lain berkaitan dengan cara memperoleh atau peralihan hak milik atas benda yang ada dalam perkawinan.
Yang dimaksud dengan istilah penggunaan disini adalah dipakai untuk keperluan hidup rumah tangga. Demikian juga apabila terjadi perubahan harta bersama misalnya dijual atau digadaikan ataupun dihibahkan yang dilakukan oleh suami atau isteri juga harus ada persetujuan kedua belah pihak. Apabila terjadi putusnya perkawinan karena perceraian, maka menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing (pasal 37 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974).
Demikian juga dalam penjelasan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 35 menyebutkan bahwa apabila perkawinan putus maka harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Yang dimaksud dengan hukumnya masing-masing ialah hukum agama, hukum adat dan hukum lainnya (pasal 37 Penjelasan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974). Kenyataan dalam masyarakat menunjukkan bahwa walaupun sebagian besar masyarakat memeluk agama Islam yang dapat dikatakan taat, namun dalam hal mengenai harta bersama ini pada umumnya memilih hukum adat untuk mengaturnya, yang mana masing-masing pihak ingin mendapatkan bagian separoh dari jumlah harta bersama tersebut.