PERKAWINAN MENURUT HUKUM HINDU
Sejak tahun 1974 bangsa indonesia telah mempunyai hukum perkawinan nasional (unifikasi hukum), yaitu dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Dengan diundangkanya Undang-undang ini pada tanggal 2 Januari 1974, Undang-undang tidak langsung berlaku, karena untuk memberlakukan suatu Undang-undang masih diperlukan peraturan pelaksanaannya. Undang-undang ini baru berlaku efiktif setelah dikeluarkannya peraturan pemerintah nomor 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentng perkawinan pada tanggal 1 Oktober 1975.
Berlakunya Undang-undang ini untuk semua wilayah indonesia bukan berarti hukum adat (dresta) mengenai perkawinan yang berlaku di bali tidak diakui lagi. Undang-undang ini masih menghargai dan menghormati keanekaragaman budaya masyarakat Indonesia, sehingga Undang-undang ini disebut sebagai suatu univikasi yang unik, karena dalam satu sistem hukum perkawinan nasional berlaku bermacam macam sistem hukum seperti hukum agama, hukum adat yang ada pada masing-masing daerah. Hal ini secara jelas dapat dilihat dari beberapa ketentuan Undang-undang perkawinan itu sendiri Pasal 2 ayat 1 “ perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing masing agama dan kepercanyaannya itu “.
Peran Hukum Adat Di Bali Dalam Sebuah Perkawinan
Untuk masyarakat bali (beragama hindu pada khususnya), bahkan dapat dikatakan bahwa undang-undang perkawinan secara prinsip tidak memiliki pengaruh yang cukup berarti terhadap bidang hukum keluarga dan waris yang berlaku, kecuali terhadap dengan hal-hal yang bersifat administratif seperti pencatatan perkawinan dan sebagainya. Dalam bidang-bidang hukum tersebut di atas masyarakat bali tetap berlaku hukum adat.
Dalam bentuk ini perkawinan nyeburin yang sangat dipengaruhi dam mempengaruhi hukum keluarga tetap mendapat tempat di dalam sistem hukum peerkawinan yang sekarang berlaku. Bentuk perkawinan nyeburin dalam bahasa sehari hari (khususnya pada daerah tabanan) lebih dikenal dengan sebutan perkawinan nyentana atau nyaluk sentana.sistem kekeluargaan yang di anut suatu masyarakat bali merupakan dasar dari hukum perkawinan dan hukum waris dari masyarakat yang bersangkutan.
Masyarakat Adat Bali menganut sistem kekeluargaan patrilieal atau kebapakan yang lebih dikenal dalam masyarakat adat bali sebagai garis kepurusa atau purusa. Sistem kekeluargaan kepurusa ini sesuai dengan ajaran Agama Hindu yang dianut sebagian besar masyarakat bali, sehingga terdapat perpaduan yang erat antara adat bali dengan agama hindu dalam hukum kekeluarga yang berlaku. Berdasarkan garis kekeluargaan ini hubungan kekeluargaan antra anak dengan keluarga dari pihak bapak atau keluarga pancer kapurusa memiliki nilai dan derajat yang lebih penting dari keluarga dari pihak ibu (saking pradana). Dari segi hukum, seorang anak hanya mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan keluarga pancer kepurusa ini sedangkan hubungan dengan kelurga saking pradana hanya mempunyai nilai sosial dan nilai moral saja.
Berdasarkan sistem kekeluargaan ini, nilai dan kedudukan anak laki laki di dalam keluarga mejadi sangatlah penting, seperti yang terdapat pada kitab Manawa Dharmacastra, suatu kitab hukum yang menjadi dasar-dasar umum mengenai hukum hindu , dalam Sloka 137 buku IX kitab Manawa Dharmacastra diebutkan bahwa :
“Putrena lokanjayati pantrena anatyamcnute,atha putrasya putranabradhnasyapnotiwistapam “ (melalui anak laki ia menundukan dunia, melaui cucu laki ia mencapai kekekalan tetapi melalui anak dari cucunya ia mencapai alam matahari).
Kedudukan anak laki menjadi penting, karena menurut kepercayaan hindu keturunan laki-laki yang mengantarkan leluhur mencapai sorga. Kitab manawa dharmacastra dalam hal ini menegaskan dalam cloka 138 buku IX sebagai berikut :
“Pumnamo narakadyas mattraya te pitaram sudah, tasmat putra iti proktah swayamewa swayambhu wa “ (karena anak laki yang mengantar pitara dari neraka yang disebut put, karena itu ia disebut putra dengan kelahirannya).
Dalam masyarakat bali dari anak-anak laki digantungkan harapan menjadi penerus generasi, menggantikan kedudukan bapaknya dalam masyarakat, memelihara merawat memberi nafkah jika orang tuanya sudah tidak mampu, melaksanakan upacara agama (ngaben), dan selalu berbakti kepada para leluhur yang bersemayam di sanggah atau merajan.
Sesuai dengan tangung jawab yang dimiliki oleh anak laki-laki yang sangat besar dalam keluarga seperti disebutkan diatas maka hukum adat bali menempatkan anak laki-laki sebagai ahli waris dalam keluarga.
Tingkat hidup berumah tangga atau membina keluarga disebut grhasta. Seoarang grhastin atau kepala keluarga memikul tanggung jawab yang besar. Menurut ajaran agam hindu yang berfungsi sebagai kepala keluarga adalah ayah, seorang ibu adalah pengasuh dan merawat, membina keluarga terutama anak-anak yang lahir dalam keluarga itu. Mengingat ayah sebagai penanggung jawab keluarga maka seorang anak laki-laki sebagai penerus kelangsungan hidup keluarga. Apabila tidak terdapat anak laki pada suatu keluarga anak perempuan dapat bertindak sebagai anak laki asalkan tetap tinggal di rumah ayahnya.
Seandainya dia kawin maka perkawinan bersifat istimewa dan suaminya mengikuti istrinya. Perkawinan itu disebut dengan “nyentana”. Kata itu merupakan berasal dari kata “ sanatana ” yang berarti abadi. Menurut kitab manawa dharmacastra dan mahabrata bahwa setiap anggota keluarga mempunyai kewajiban masing-masing sesuai dengan dharma.
Seorang ayah atau suami memiliki kedudukan yang sejajar dengan istrinya. Akan tetapi dalam Svadharmanya secara kodrati peranan ayah atau suami lebih menonjol. Suami sebagai bapak mempunyai fungsi sebagai kepala rumah tangga yang harus di hormati.
Kedudukan dan kewajiban ibu memegang peranan yang sangat penting dalam rumah tangga. Tugas dan tanggung jawab seorang ibu sangatlah berat. Sejak ibu hamil melahirkan, memelihara dan mendidik putra putrinya dalam rumah tangga yang merupakan tugas yang dilakukan oleh seorang ibu.
Kelahiran seorang anak laki-laki dalam keluarga hindu merupakan kebahagian, karena mempunyai anak laki-laki adalah tujuan utama dari setiap keluarga hindu. Anak laki disebut putra dan dipandang sebagai juru selamat nenek monyang yang telah meninggal, menyelamatkannya dari neraka. Berbeda halnya kedudukan anak laki-laki maka kedudukan anak perempuan karena dianggap sebagai dewi kemakmuran bertahta.
Apabila dalam suatu keluarga tidak terdapat anak laki-laki maka ia berhak juga untuk mewarisi semua harta peninggalan orangtuanya. Sedangkan bila memiliki saudara laki-laki maka ia berhak pula mewarisi setengah dari yang diterima saudara laki-lakinya. Jadi dalam keluarga hindu kedudukan anak perempuan juga mendapat tempat yang istimewa.