BISAKAH PERCERAIAN TANPA PERSETUJUAN SUAMI ATAU ISTRI?
Paradigma yang berkembang di masyarakat khususnya di masyarakat Bali yang menganut paham patrilineal, dimana peran laki-laki lebih dominan daripada perempuan dalam masyarakat adat Bali.
Hal ini membuat perempuan menjadi tidak berdaya ketika berada di keluarga laki-laki bilamana suami/laki-laki tersebut memperlakukan istrinya dengan semena-mena.
Seperti contoh kasus yang pernah kami pengacara perceraian alami dalam penanganan perkara, dimana si istri/perempuan kerap dipukuli oleh suami (jadi korban KDRT), Suami yang tidak menafkahi istri bahkan si Istri yang cenderung bekerja membanting tulang sementara si suami malah asyik mabuk-mabukan bersama temannya.
Hal ini membuat si Istri merasa tidak tahan dan yakin untuk ingin bercerai atau berpisah dengan suaminya. Namun niat ingin bercerai dari si Istri diketahui oleh suaminya.
Suaminya menyembunyikan semua berkas-berkas istri mulai dari Akta perkawinan, KK, KTP, bahkan Akta Kelahiran anak-anaknya. Tujuannya semata-mata agar si Istri tidak bisa mengurus perceraiannya di Pengadilan, bahkan suami pun mengancam tidak akan menandatangani surat persetujuan cerai dari pengadilan. si Istri pun menjadi tak berdaya dan patah semangat dengan ancaman suaminya tersebut.
Baca Juga: Bisakah perceraian tanpa akta perkawinan atau tanpa buku nikah?
Paradigma ini yang banyak berkembang di masyarakat terutama masyarakat Bali, yang sangat keliru. Perceraian di pengadilan tidak ditentukan oleh ada atau tidaknya persetujuan dari pihak lawan (baik persetujuan suami/istri). Kendatipun suami seperti kasus diatas tidak setuju cerai, namun istri dapat mengajukan gugatan perceraian dengan bantuan seorang pengacara perceraian.
Kendatipun saat dikirimkan nya gugatan dan relass panggilan sidang oleh Juru Sita Pengadilan ke alamat Tergugat (suami) dan bila suami sebagaimana kasus diatas tidak mau menandatangani surat relass panggilan sidang, tidak akan menjadi halangan untuk memulai persidangan. Pihak lawan atau Tergugat (suami) dianggap telah mengetahui adanya gugatan sekalipun ia tidak menandatangani relass panggilan sidang tersebut.
Bilamana Pihak lawan atau Tergugat (suami) datang hadir sidang lalu mengatakan di depan Majelis Hakim tidak sepakat untuk bercerai/berpisah maka oleh Majelis Hakim akan ditunjuk seorang mediator untuk melakukan tahapan mediasi diantara para pihak.
Masa mediasi di Pengadilan akan berlangsung selama 30 (tiga puluh) hari dan dapat diperpanjang selama 10 (sepuluh) hari.
Mediator akan menanyakan kepada pihak Penggugat, apa yang menjadi problem rumah tangganya, begitu pula kepada pihak Tergugat di tanyakan pertanyaan yang sama.
Pihak Penggugat kemudian diberikan kesempatan oleh Mediator untuk membuat resume mediasi yang isinya apa keinginan dari Penggugat yang memungkinkan terjadinya perdamaian/rujuk dalam berumah tangga. Begitu pula dari Pihak Tergugat ditanyakan oleh Mediator, apakah bersedia memenuhi keinginan dari Pihak Penggugat.
Apabila terjadi deadlock, yaitu pihak Penggugat bersikeras ingin bercerai sedangkan pihak Tergugat bersikukuh untuk mempertahankan rumah tangganya maka Mediasi dianggap gagal. Persidangan bisa dimulai dengan agenda berikutnya yaitu pembacaan gugatan.