Pengacara Perceraian
Dalam hal ini penulis (I Putu Agus Putra Sumardana, SH) yang juga adalah seorang Pengacara mencoba menjelaskan dan memaparkan sekilas tentang perceraian menurut Hukum Nasional. Pertama-tama kita harus mengetahui dan mengerti pengertian perceraian menurut hukum perdata nasional RI yaitu Perceraian adalah putusnya ikatan perkawinan antara suami isteri dengan keputusan pengadilan dan ada cukup alasan bahwa diantara suami isteri tidak akan dapat hidup rukun lagi sebagai suami isteri. Dalam KUH perdata (BW) putusnya perkawinan dipakai Istilah ‘pembubaran perkawinan’ (ontbindinng des huwelijks).
Adapun menurut KUH (Kitab Undang-undang Hukum) Perdata Pasal 208 disebutkan bahwa “perceraian tidak dapat terjadi hanya dengan persetujuan bersama”. Dalam Pasal 209 K.U.H. perdata disebutkan alasan-alasan perceraian adalah:
- Zinah, berarti terjadinya hubungan seksual yang dilakukan oleh seorang yang telah menikah dengan orang lain yang bukan isteri atau suaminya. Perzinahan itu sendiri harus dilakukan dengan kesadaran, dan yang bersangkutan melakukan dengan bebas karena kemauan sendiri tanpa paksaan, dalam kaitan ini pemerkosaan bukanlah merupakan perzinahan, demikian pula seorang gila atau sakit ingatan atau orang yang dihipnotis atau pula dengan kekerasan pihak ketiga tidaklah dapat disebut melakukan perzinahan.
- Meninggalkan tempat tinggal bersama dengan sengaja. Kalau gugatan untuk bercerai didasarkan pada alasan bahwa pihak yang satu pergi meninggalkan pihak lain, maka menurut Pasal 211 K.U.H. perdata gugatan itu baru dapat diajukan setelah lampau 5 (lima) tahun dihitung dari saat pihak lain meniggalkan tempat kediaman bersama tanpa sebab yang sah. Selanjutnya Pasal 218 menentukan, bahwa gugatan itu gugur apabila pulang kembali dalam rumah kediaman bersama. Tetapi apabila kemudian ia pergi lagi tanpa sebab yang sah, maka ia dapat digugat lagi setelah lampau 6 (enam) bulan sesudah saat perginya yang kedua kali.
- Penghukuman dengan hukuman penjara 5 (lima) tahun lamanya atau dengan hukuman yang lebih berat, yang diucapkan setelah perkawinan. Dalam hal ini bila terjadi hal yang mengakibatkan adanya penghukuman penjara yang harus dijalankan oleh salah satu pihak selama 5 tahun atau lebih, pihak yang lain dapat mengajukan tuntutan untuk memutuskan perkawinan mereka, sebab tujuan perkawinan tidak lagi dapat berjalan sebagaimana diharapkan oleh masing-masing pihak yang harus hidup terpisah satu sama lain. Disini bukan berarti adanya hukuman penjara tersebut menjadi alasan semata-mata untuk menuntut perceraian, tetapi hukuman itu akan memberi akibat yang mengganggu ketentuan dan kebahagiaan rumah tangga.
- Melukai berat atau menganiaya, dilakukan oleh suami atau isteri terhadap isteri atau suaminya, yang demikian sehingga mengakibatkan luka-luka yang membahayakan. Alasan ini semakin diperkuat dengan lahirnya Undang-undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Dalam Pasal 5 ditegaskan “setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkungan rumah tangganya dengan cara: kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan penelantaran rumah tangga”.
Gugatan perceraian diajukan oleh Pengacara atau Kuasa Hukum ke pengadilan negeri yang didaerah hukumnya si Tergugat (baik suami atau istri) atau tempat tinggal sebenarnya bila tidak memiliki tempat tinggal pokok.
Dalam pasal 39 UU No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Pasal 110 Komplikasi Hukum Islam (KIH) disebutkan tentang alasan-alasan yang diajukan oleh suami atau istri untuk menjatuhkan talak atau gugatan perceraian ke pengadilan. Alasan-alasan itu adalah sebagai berikut :
- Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sulit disembuhkan.
- Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-berturut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.
- Salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
- Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.
- Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri.
- Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
- Suami melanggar Ta’lik Talak.
- Peralihan Agama atau murtad yang menyebabkan ketidak rukunan dalam rumah tangga.
- Karena ketidakmampuan suami memberi nafkah, yaitu mencukupi kebutuhan sandang, pangan, papan, dan kesehatan yang diperlukan bagi kehidupannya. Jika istri tidak bisa menerima keadaan ini, maka dia bisa meminta kepada sang suami untuk menceraikannya, sementara istri benar-benar tidak sanggup menerimanya, pengadilan yang menceraikannya.
- Karena suami bertindak kasar, misalnya suka memukul, untuk melindungi kepentingan dan keselamatan istri, atas permintaan yang bersangkutan pengadilan berhak menceraikannya.
- Karena kepergian suami dalam waktu yang relative lama, tidak pernah ada dirumah, bahkan imam Malik tidak membedakan apakah kepergian itu demi mencari ilmu, bisnis, atau karena alasan lain. Jika istri tidak bisa menerima keadaan itu dan merasa dirugikan, pengadilan yang menceraikannya. Berapa ukuran lama masing-masing masyarakat atau Negara bisa membuat batasan sendiri melalui undang-undang.
- Suami dalam status tahanan atau dalam kurungan. Jika istri tidak bisa menerima keadaan itu, maka secara hukum, ia bisa mengajukan masalahnya kepengadilan untuk diceraikan.
Dasar hukum Pengacara atau Kuasa Hukum mengajukan gugatan perceraian di Pengadilan adalah:
- Pasal 38 sampai dengan pasal 41 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
- Pasal 14 sampai dengan pasal 36 PP Nomor 9 Tahun 1975, pasal 199 KUH Perdata.
- Pasal 113 sampai dengan pasal 128 Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
Adapun langkah-langkah dan proses yang dilakukan oleh Pengacara yang menangani kasus perceraian adalah:
- Pendaftaran gugatan;
- Menerima surat panggilan sidang;
- Sidang pertama, apabila kedua belah pihak hadir baik itu Penggugat maupun Tergugat maka Majelis Hakim mewajibkan para pihak untuk Melakukan Mediasi sesuai dengan Perma No. 1 Tahun 2016;
- Waktu Mediasi sesuai dengan Perma No. 1 Tahun 2016 adalah 30 hari;
- Setelah Mediasi dinnyatakan Gagal maka dilanjutkan dengan sidang Pembacaan Gugatan Penggugat;
- Sidang jawaban;
- Sidang replik
- Sidang duplik;
- Sidang bukti surat pihak Penggugat;
- Sidang bukti pihak Tergugat;
- Sidang saksi dari Penggugat;
- Sidang saksi dari Tergugat;
- Sidang kesimpulan;