PENANGANAN PERKARA SABU-SABU, NARKOTIKA, EKSTASI, DAN GANJA OLEH PENGACARA DI BALI
Maraknya peredaran narkoba di Bali, yang menurut pengamatan penulis, yang terbanyak adalah narkotika jenis sabu-sabu (metamfetamin). Disini penulis yang adalah Pengacara di Bali mencoba berbagi pengalaman hukum dalam praktik pengacara di Bali saat penanganan Klien yang notabene adalah di duga Pemakai/Pecandu/Penyalahguna, kurir maupun diduga pengedar narkotika.
Klien yang diduga Pengguna narkotika dapat mengajukan rehabilitasi medis maupun rehabilitasi sosial sebagaimana ketentuan Pasal 35 UU Narkotika, dimana pengajuan permohonan rehabilitasi medis dapat ditujukan kepada Rumah Sakit atau lembaga kesehatan yang telah ditunjuk oleh pemerintah.
Klien yang diduga Pemakai/Pecandu/Penyalahguna narkotika ketika tertangkap oleh tim Buser Narkoba, seketika dapat meminta untuk didampingi oleh Kuasa Hukum/Pengacara untuk melakukan pendampingan saat pemeriksaan di Kepolisian termasuk saat pembuatan BAP (Berita Acara pemeriksaan), yang mana proses ini sangat penting untuk mencari terang sebuah perbuatan/peristiwa pidana.
Kuasa hukum tentunya mempunyai hak untuk memperjuangkan semaksimal mungkin hak-hak hukum Kliennya bilamana setelah pemeriksaan urine dinyatakan positif narkotika jenis Sabu. Kuasa Hukum dapat mengajukan permohonan Rehabilitasi kepada Penyidik Kepolisian, Penuntut Umum (Kejaksaan) maupun kepada yang Mulia Majelis Hakim, bilamana perkara ini telah dilimpahkan ke Pengadilan.
Kenapa Pendampingan Oleh Kuasa Hukum/Pengacara Dalam Kasus Narkotika itu Penting
Pendampingan oleh Kuasa Hukum/Pengacara sangat penting guna mengetahui apakah Klien nya sebagai Pemakai/Pecandu/Penyalahguna atau sebagai perantara, sebagai Pengedar atau bahkan sebagai Bandar Narkotika jenis Sabu. Ini penting sebab masing-masing perbuatan hukum tersebut memiliki ancaman pidana penjara yang berbeda-beda. Adapun Pasal yang disangkakan kepada Pemakai/Pecandu/Penyalahguna Narkotika jenis Sabu adalah Pasal 127 ayat (1) UU Narkotika yang menyebutkan “Setiap penyalah guna: Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun; Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun; dan Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun”.
Pasal-Pasal yang Sering Digunakan Penyidik Untuk Menjerat Pelaku Narkotika
Pasal-pasal yang sering digunakan penyidik dan Penuntu Umum untuk menjerat pelaku narkotika umumnya adalah Pasal 112, Pasal 114, dan Pasal 127 UU Narkotika. Dimana formulasi dakwaan penyidik dapat berupa dakwaan pertama Pasal 114 Ayat (1) jo Pasal 132 Ayat (1) UU Narkotika dan/atau dakwaan kedua yaitu Pasal 112 Ayat (1) UU Narkotika, dan/atau dakwaan ketiga yaitu Pasal 127 Ayat (1) Huruf a UU Narkotika jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Formulasi unsur Pasal 127 UU Narkotika dan Pasal 112 UU Narkotika memiliki beberapa kesamaan dalam redaksi nya, sehingga terkadang kerap menimbulkan multitafsir dalam praktiknya, peran Kuasa Hukum Tersangka/Terdakwa sangat vital demi menjaga suatu keadilan dan Kepastian Hukum bagi Kliennya.
Pasal 112 ayat (1) UU Narkotika yang berbunyi: “Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.800.000.00,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).”
Pasal 112 ayat (2) UU Narkotika yang berbunyi: “Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan menguasai, atau menydeiakan Narkotika Golongan I bukan tanaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga)”