Beda Pembatasan Sosial Skala Besar (PSBB), Karantina Wilayah dan Darurat Sipil
Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) telah dinyatakan oleh World Health Organization (WHO) sebagai pandemic sehingga perlu dilakukan upaya penanggulangan agar tidak terjadi peningkatan kasus. Dalam rangka upaya penanggulangan dilakukan penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2Ol8 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Adapun perbedaan Karantina Wilayah (UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan), Pembatasan Sosial Skala Besar (PSBB), dan Darurat Sipil (Perppu Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya) adalah sebagai berikut:
Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB)
Diatur dalam UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan dimana bertujuan mencegah meluasnya penyebaran penyakit Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang sedang terjadi antar orang di suatu wilayah tertentu (Pasal 59 ayat 2). Dapat berarti Pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi.
Penyebaran Coronq Virus Disease 2019 (COVID-19) dengan jumlah kasus dan/atau jumlah kematian telah meningkat dan meluas lintas wilayah dan lintas negara dan berdampak pada aspek politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan, serta kesejahteraan masyarakat di Indonesia;
Dalam Pasal 59 ayat 3 UU No. 6 Tahun 2018 dan dalam Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2020 Tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona VIrus Disease 2019 (Covid-19), disebutkan Pembatasan Sosial Berskala Besar sebagaimana dimaksud meliputi:
- Peliburan sekolah dan tempat kerja;
- pembatasan kegiatan keagamaan; dan/atau
- pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum.
Tindakan tersebut meliputi pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) termasuk pembatasan terhadap pergerakan orang dan/atau barang untuk satu provinsi atau kabupaten/kota tertentu untuk mencegah penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).
Pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) diusulkan oleh gubernur/bupati/walikota kepada Menteri kesehatan (Pasal 6 ayat (1)).
Adapun kriteria penetapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) menurut Permenkes 9 tahun 2020 tentang Pedoman PSBB dalam rangka Percepatan Penanganan COVID-19, adalah:
- Prasyarat diberlakukannya Pembatasan Sosial Berskala Besar adalah terpenuhinya kriteria situasi penyakit berupa peningkatan signifikan jumlah kasus dan/atau kematian akibat penyakit, penyebaran kasus yang cepat ke beberapa wilayah, dan terdapat kaitan epidemiologis dengan kejadian serupa di wilayah atau negara lain. Karenanya, penetapan Pembatasan Sosial Berskala Besar oleh Menteri didasarkan pada terjadinya peningkatan jumlah kasus dan/atau kematian secara bermakna dalam kurun waktu tertentu, penyebaran kasus secara cepat di wilayah lain dalam kurun waktu tertentu, dan ada bukti terjadi transmisi lokal.
- Yang dimaksud dengan kasus adalah pasien dalam pengawasan dan kasus konfirmasi positif berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium dengan Reverse Transcription Polymerse Chain Reaction (RT-PCR).
- Peningkatan jumlah kasus dan/atau kematian secara bermakna diketahui dari pengamatan kurva epidemiologi kasus dan/atau kematian. Adanya kecenderungan peningkatan kasus dan/atau kematian dalam kurun waktu hari atau minggu menjadi bukti peningkatan bermakna.
- Kecepatan penyebaran penyakit di suatu area/wilayah dilakukan dengan melakukan pengamatan area/wilayah penyebaran penyakit secara harian dan mingguan. Penambahan area/wilayah penyebaran penyakit dalam kurun waktu hari atau minggu menjadi bukti cepatnya penyebaran penyakit.
- Terjadinya transmisi lokal di suatu area/wilayah menunjukkan bahwa virus penyebab penyakit telah bersirkulasi di area/wilayah tersebut dan bukan merupakan kasus dari daerah lain.
Sedangkan Tata Cara penetapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) adalah
- Gubernur/bupati/walikota menyampaikan usulan kepada Menteri disertai dengan data gambaran epidemiologis dan aspek lain seperti ketersediaan logistik dan kebutuhan dasar lain, ketersediaan fasilitas kesehatan, tenaga kesehatan, dan perbekalan kesehatan termasuk obat dan alat kesehatan. Data yang disampaikan kepada Menteri juga termasuk gambaran kesiapan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Daerah.
- Ketua Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dalam menyampaikan usulan kepada Menteri untuk menetapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar di wilayah tertentu, berdasarkan penilaian terhadap kriteria Pembatasan Sosial Berskala Besar.
- Permohonan oleh gubernur/bupati/walikota dapat disampaikan secara sendiri-sendiri atau bersama-sama.
- Permohonan dari gubernur untuk lingkup satu provinsi atau kabupaten/kota tertentu di wilayah provinsi.
- Permohonan dari bupati/walikota untuk lingkup satu kabupaten/kota di wilayahnya.
- Dalam hal bupati/walikota akan mengajukan daerahnya ditetapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar, maka terlebih dahulu berkonsultasi kepada gubernur dan Surat permohonan penetapan Pembatasan Sosial Berskala Besar ditembuskan kepada gubernur.
- Dalam hal terdapat kesepakatan Pemerintah Daerah lintas provinsi untuk ditetapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar secara bersama, maka pengajuan permohonan penetapan Pembatasan Sosial Berskala Besar kepada Menteri dilakukan melalui Ketua Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID- 19). Untuk itu, kepada Pemerintah Daerah yang daerahnya akan ditetapkan secara bersama-sama harus berkoordinasi dengan Ketua Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).
- Untuk kecepatan proses penetapan, permohonan tersebut dapat disampaikan dalam bentuk file elektronik, yang ditujukan pada alamat email psbb.covid19@kemkes.go.id.
- Penetapan Pembatasan Sosial Berskala Besar oleh Menteri dilakukan berdasarkan rekomendasi kajian dari tim yang dibentuk yang sudah berkoordinasi dengan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19). Kajian tersebut berupa kajian epidemiologis dan kajian terhadap aspek politik, ekonomi, sosial, budaya pertahanan, dan keamanan. Untuk itu tim yang dibentuk terdiri dari unsur kementerian kesehatan, kementerian/lembaga lain yang terkait dan para ahli.
- Menteri menyampaikan keputusan atas usulan Pembatasan Sosial Berskala Besar untuk wilayah provinsi/kabupaten/kota tertentu dalam waktu paling lama 2 (dua) hari sejak diterimanya permohonan penetapan.
- Dalam hal permohonan penetapan belum disertai dengan data dukung, maka Pemerintah Daerah harus melengkapi data dukung paling lambat 2 (dua) hari sejak menerima pemberitahuan dan selanjutnya diajukan kembali kepada Menteri.
- Penetapan dilaksanakan dengan mempertimbangkan rekomendasi tim dan memperhatikan pertimbangan dari Ketua Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).
- Pertimbangan dari Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) paling lama disampaikan kepada Menteri dalam waktu 1 (satu) hari sejak diterimanya permohonan penetapan. Dalam hal waktu tersebut tidak dapat dipenuhi, maka Menteri dapat menetapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar dengan tetap memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan.
- Formulir permohonan penetapan Pembatasan Sosial Berskala Besar oleh gubernur/bupati/walikota, atau Ketua Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19)
Karantina Wilayah
Menurut Pasal 1 UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan adalah pembatasan penduduk dalam suatu wilayah termasuk wilayah Pintu Masuk beserta isinya yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi.
Kedaruratan kesehatan masyarakat diartikan sebagai kejadian kesehatan masyarakat yang bersifat luar biasa. Kondisi ini ditandai penyebaran penyakit menular atau kejadian yang disebabkan radiasinuklir, pencemaran biologi, kontaminasi kimia, bioterorisme, dan pangan yang menimbulkan bahaya kesehatan dan berpotensi menyebar lintas wilayah atau lintas negara.
Karantina wilayah berarti kedaruratan kesehatan masyarakat yang meresahkan dunia, terjadi penyebaran penyakit antar anggota masyarakat di suatu wilayah.
Darurat sipil
Darurat Sipil diatur dalam Perppu Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya. Darurat sipil berarti keadaan bahaya selain keadaan darurat militer dan keadaan perang, terjadi manakala alat-alat perlengkapan negara dikhawatirkan tidak dapat mengatasi kondisi keamanan atau ketertiban hukum di seluruh wilayah atau di sebagian wilayah negara.
Kondisi itu terjadi apabila negara terancam pemberontakan, kerusuhan, bencana alam, perang, perkosaan wilayah, atau negara dalam bahaya.
Darurat sipil terjadi bila alat-alat perlengkapan negara dikhawatirkan tidak mampu mengatasi keadaan, terancam pemberontakan, kerusuhan, bencana alam, perang, perkosaan wilayah, dan bahaya.
Hal-hal yang dapat dilakukan Penguasa saat terjadinya Darurat Sipil adalah
- Penguasa berhak mengadakan peraturan untuk membatasi pertunjukan-pertunjukan,percetakan, penerbitan, pengumuman, penyampaian, penyimpanan, penyebaran, perdagangan dan penempelan tulisan-tulisan berupa apapun juga, lukisan-lukisan, klise-klise dan gambar-gambar (Pasal 13)
- Penguasa berhak atau dapat-menyuruh atas namanya pejabat-pejabat polisi atau pejabat-pejabat pengusut lainnya atau menggeledah tiap-tiap tempat, sekalipun bertentangan dengan kehendak yang mempunyai atau yang menenpatinya, dengan menunjukkan surat perintah umum atau surat perintah istimewa (Pasal 14 ayat 1)
- Penguasa berhak memeriksa, menyita, dan melarang barang yang diduga mengganggu keamanan (Pasal 15)
- Penguasa berhak mengambil atau memakai barang-barang dinas umum (Pasal 16)
- Penguasa berhak memeriksa badan dan pakaian tiap-tiap orang yang dicurigai serta menyuruh memeriksanya oleh pejabat-pejabat Polisi atau pejabat-pejabat pengusut lain (Pasal 20)
- Penguasa berhak membatasi orang berada di luar rumah (Pasal 19
- Penguasa berhak menyadap telepon atau radio, melarang atau memutuskan pengiriman berita-berita atau percakapan-percakapan (Pasal 17 ayat 1)
- Penguasa berhak melarang pemakaian kode, gambar, hingga pemakaian bahasa-bahasa selain bahasa Indonesia (Pasal 17 ayat 2);
- Penguasa berhak menetapkan peraturan yang melarang pemakaian alat telekomunikasi yang dapat dipakai untuk mencapai rakyat banyak, menyita, atau menghancurkan perlengkapan tersebut (Pasal 17 ayat 3)