Konvensi PBB Tentang Hak Anak
Dalam Konvensi PBB Tentang Hak Anak selanjutnya disebut KHA, ada 4 (empat) prinsip dasar yang kemudian dirumuskan utuh dalam Pasal 2 UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Prinsip-prinsip umum (general principles) KHA yang diserap sebagai prinsip-prinsip dasar dalam UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak tersebut, yakni:
a.Non diskriminasi;
b.Kepentingan terbaik bagi anak;
c.Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan;
d.Penghargaan terhadap pendapat anak.
4 Prinsip Dasar dalam UU No 23 Tahun 2002
Ad. 1.Prinsip Non Diskriminasi
Alinea pertama dari Pasal 2 KHA menciptakan kewajiban fundamental negara peserta (fundamental obligations of state parties) yang mengikatkan diri dengan Konvensi Hak Anak, untuk menghormati dan menjamin (to respect and ensure) seluruh hak-hak anak dalam konvensi ini kepada semua anak dalam semua jurisdiksi nasional dengan tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun. Beberapa konvensi HAM mengartikan diskriminasi sebagai adanya pembedaan (distiction), pengucilan (exclusion), pembatasan (restriction) atau pilihan/pertimbangan (preference), yang berdasarkan atas ras (race), warna kulit (colour), kelamin (sex), bahasa (language), agama (religion), politik (political) atau pendapat lain (other opinion), asal usul sosial atau nasionalitas, kemiskinan (proverty), kelahiran atau status lain.
Perlu digaris bawahi kemungkinan terjadinya diskriminasi anak yang membutuhkan perlindungan khusus, anak tidak beruntung atau kelompok anak-anak yang beresiko, misalnya anak cacat (disabled children), anak pengungsi (refugee children). Pasal-pasal tertentu KHA menyediakan bentuk-bentuk perlindungan khusus bagi anak yang cenderung mengalami diskriminasi. Sebab, diskriminasi adalah akar berbagai bentuk eksploitasi terhadap anak. Acuan terhadap diskriminasi dapat pula dikutip dari Pasal 1 Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial, yang memberikan definisi atas “racial discrimination”, sebagai berikut:
“any distinction, exclusion, restriction or preference base on race, colour, descent or national ethnic origin wich has the purpose or effect of nullifying or impairing the recognition, enjoyment or exercise, on an equal footing, of human rights and fundamental freedoms in the political, economic, social, cultural or any other field of public life”.
Dalam hukum nasional, pengertian diskriminasi dapat diperoleh dari Pasal 1 butir 3 UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang berbunyi sebagai berikut: “Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tidak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan, politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan, pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya dan aspek kehidupan lainnya”.
Dalam hal peradilan anak, United Nations Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice yang dikenal dengan “Beijing Rules”, juga memuat prinsip non diskriminasi dalam peradilan anak. Berdasarkan Peraturan Nomor 2 ayat 1 Beijing Rules disebutkan bahwa standar peraturan minimum diterapkan pada anakanak pelanggar hukum (juvenile offenders) secara tidak memihak (impartially), tidak dengan pembedaan dalam segala bentuknya, misalnya ras, warna kulit, kelamin,bahasa, agama, politik, dan pendapat lain, asal kebangsaan, atau kewarganegaraan, harta benda kekayaan (property), kelahiran, atau status lainnya. Bahkan,dalam Perubahan Kedua UUD 1945 Pasal 28 B ayat 2 , dirumuskan secara eksplisit hak anak dari diskriminasi, yang berbunyi sebagai berikut: “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.
Ad. 2.Prinsip Kepentingan Terbaik bagi Anak
Prinsip Kepentingan Terbaik bagi Anak (the best interest of the child) diadopsi dari Pasal 3 ayat 1 KHA, dimana prinsip ini diletakkan sebagai pertimbangan utama (a primary consideration) dalam semua tindakan untuk anak, baik oleh institusi kesejahteraan sosial pada sektor publik ataupun privat, pengadilan, otoritas administratif, ataupun badan legislatif. Pasal 3 ayat 1 KHA meminta negara dan pemerintah, serta badan-badan publik dan privat memastikan dampak terhadap anak-anak atas semua tindakan mereka, yang tentunya menjamin bahwa prinsip the best interest of the child menjadi pertimbangkan utama, memberikan prioritas yang lebih baik bagi anak-anak dan membangun masyarakat yang ramah anak (child friendly-society). Jika dirunut dalam sejarahnya, prinsip the best interest of the child ini pertama kali dikemukakan pada Declaration of the Rights of the Child pada tahun 1959. Dalam Pasal 2 Deklarasi Hak Anak itu, dikemukakan prinsip the best interest of the child sebagai paramount consideration yang berbunyi sebagai berikut:
“The child shall enjoy special protection, and shall be given opportunities and facilities, by law and by other means, to enable him to develop physically in a healthy and normal manner and in conditions of freedom and dignity. In the enacment of laws for this purpose, the best interests of the child shall be the paramount considerations”.
Dapat diartikan sebagai kepentingan kesejahteraan anak adalah tujuan dan penikmat utama dalam setiap tindakan, kebijakan, dan atau hukum yang dibuat oleh lembaga berwenang. Guna menjalankan prinsip the best interest of the child ini, dalam rumusan Pasal 3 ayat 2 KHA ditegaskan bahwa negara peserta menjamin perlindungan anak dan memberikan kepedulian pada anak dalam wilayah yurisdiksinya. Negara mengambil peran untuk memungkinkan orangtua bertanggung jawab terhadap anaknya, demikian pula lembaga-lembaga hukum lainnya. Dalam situasi dimana tanggungjawab dari keluarga atau orangtua tidak dapat dijalankannya, maka negara mesti menyediakan program jaminan sosial (savety net).
Perihal jaminan sosial ini, diharmonisasikan ke dalam Pasal 8 UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang secara eksplisit menyebutkannya sebagai hak anak yang wajib diselenggarakan oleh Pemerintah. Bahkan dengan rumusan Pasal 3 ayat 3 KHA, negara mesti menjamin institusi-institusi, pelayanan, dan fasilitas yang diberikan tanggungjawab untuk kepedulian pada anak atau perlindungan anak yang sesuai dengan standar yang dibangun oleh lembaga yang berkompeten. Negara mesti membuat standar pelayanan sosial anak, dan memastikan bahwa semua institusi yang bertanggungjawab mematuhi standar dimaksud dengan mengadakan monitoring atas pelaksanaannya.
Sejalan dengan Pasal 3 ayat 1 KHA yang diulas dimuka, dalam Beijing Rules juga dikandung prinsip the best interest of the child. Menurut Beijing Rules, negara anggota (state member) berusaha mendorong kesejahteraan anak beserta keluarganya (vide Peraturan 1 ayat 1), dan menentukan bahwa sistem peradilan anak harus menekankan kesejahteraan anak (vide Peraturan 5 ayat 1), dan prosedur peradilan yang kondusif terhadap kepentingan terbaik anak (the best interest of the juvenile) (vide Peraturan 14 ayat 2), serta kesejahteraan anak harus menjadi faktor penentu arah dalam memberikan pertimbangan dalam kasus anak (vide Peraturan 17 ayat 1, d).
Ad. 3.Hak untuk Hidup, Kelangsungan Hidup, dan Perkembangan
Prinsip ini merupakan implementasi dari pasal 6 KHA, yang kemudian secara eksplisit dianut sebagai prinsip-prinsip dasar dalam UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Selanjutnya, prinsip ini dituangkan dalam norma hukum Pasal 4 UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Jika dibandingkan, norma hukum Pasal 4 UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mengacu dan bersumber kepada Pasal 28 B ayat 1 dan ayat 2 UUD 1945.
Sementara itu, ketentuan perundang-undangan lainnya seperti UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga mengatur hak hidup ini yang merupakan asas-asas dasar dalam Pasal 4 dan 9 UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia). Hak hidup ini, dalam wacana instrumen/konvensi internasional merupakan hak asasi yang universal, dan dikenali sebagai hak yang utama (supreme right).
Sebelum disahkannya KHA, beberapa instrumen/konvensi internasional juga sudah menjamin hak hidup sebagai hak dasar seperti Universal Declaration of Human Rights (pasal 2), International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) (pasal 6). Bahkan, dalam General Comment nya pada tahun 1982, The Human Rights Committee, menyebutkan hak hidup sebagai hak yang tidak dapat diabaikan termasuk dalam waktu darurat (rights to life…is the supreme right from which no derogation is permitted even in time of emergency).
Ad. 4.Penghargaan terhadap Pendapat Anak
Prinsip ini merupakan wujud dari hak partisipasi anak yang diserap dari Pasal 12 KHA. Mengacu kepada Pasal 12 ayat 1 KHA, diakui bahwa anak dapat dan mampu membentuk atau mengemukakan pendapatnya dalam pandangannya sendiri yang merupakan hak berekspresi secara bebas (capable of forming his or her own views the rights to express those views freely). Jaminan perlindungan atas hak mengemukakan pendapat terhadap semua hal tersebut, mesti dipertimbangkan sesuai usia dan kematangan anak.