Pengacara di Bali: Kasus Waris di Bali (Kedudukan Anak Perempuan & Janda Dalam Sistem Waris di Bali)
Penulis yang merupakan pengacara di Bali akan membagi pengalaman dalam penanganan perkara waris di Bali. Hukum adat Bali menganut system pewarisan/system kekeluargaan patrilineal (kebapaan) yang artinya hanya anak laki-laki saja yang berhak untuk mewaris. Namun belakangan ini ada kasus yang bermuara di Pengadilan yang memungkinkan pihak sauadara atau anak perempuan mendapat waris dari orang tuanya sebesar setengah (1/2) dari bagian saudara laki-lakinya atau bisa dikatakan memiliki bagian seperempat (1/4) dari harta warisan orang tuanya. Hal ini sesuai dengan hasil Pesamuhan Agung III Tahun 2010 dimana menempatkan perempuan Bali dalam pembagian warisan harta peninggalan orang tuanya.
Disejumlah daerah di Bali yang menganut sistem perkawinan nyeburin/sentana rajeg, dimana dalam perkawinan tersebut terjadi perubahan status/kedudukan dimana status/kedudukan hukum si perempuan sebagai purusa (laki-laki) dan sebaliknya si Laki-laki menjadi Predana, sehingga memungkinkan si perempuan yang berubah kedudukan sebagai laki-laki tersebut, untuk menerima warisan harta kekayaan dari orang tuanya. Sebenarnya ini telah diputuskan dalama Putusan Pengadilan Tinggi Denpasar tanggal 18 Agustus 1970 Nomor 2/PTD//1979/pdt (telah menjadi Yurisprudensi), yang berbunyi “sentana rajeg menurut Hukum Adat Bali adalah ahli waris dari orang tua nya”.
Bila kita tinjau lagi yaitu Putusan Mahkamah Agung No. 100/Sip/1967, tanggal 14 Juni 1968, disana dikatakan pada intinya bahwa seorang anak perempuan yang belum menikah dan janda yang kembali pulang ke rumah “bajang” harus dianggap memiliki hak waris terhadap harta warisan dari orang tuanya. Sekalipun hal ini dalam praktiknya dalam kehidupan bermasyarakat di Bali, kedudukan janda ini kerap dikesampingkan sebagai ahli waris, hal ini tentu melanggar asas persamaan kedudukan antara pria dan wanita terkait dengan janda yang harus dianggap berhak atas harta warisan orang tuanya.
Sebagian kalangan akademisi menganggap si Perempuan sejatinya tidak memiliki hak mewaris yang dimilikinya hanya hak untuk ikut menikmati harta peninggalan orang tuanya. Penting disini pula diketahui, bila terjadi sengketa waris yang melibatkan pihak perempuan dan laki-laki di Bali, untuk dapat memperoleh keadilan didepan hukum, diperlukan kemampuan seorang Pengacara untuk menggali sumber-sumber hukum, tidak hanya terpacu pada 1 (satu) sumber hukum yaitu pada hukum adat Bali saja, namun dapat mencari dasar hukum lain sebagai bahan pertimbangan untuk Majelis Hakim nantinya. Pengacara dapat menggali mulai dari hakikat dan filosofis hukum waris dari hukum waris Belanda hingga hukum waris yang berlaku di Indonesia. Bila kita merujuk pada ketentuan hukum nasional yang berlaku di Indonesia, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 832 KUHPerdata, yang berbunyi “Menurut undang-undang, yang berhak menjadi ahli waris ialah keluarga sedarah, baik yang sah menurut undang-undang maupun yang di luar perkawinan, dan suami atau isteri yang hidup terlama...”