Harta Kekayaan Dalam Perkawinan dan Perceraian
Menurut Penjelasan Umum Undang-Undang Perkawinan tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan materiil. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia kekal dan sejahtera, maka undang-undang ini menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya per ceraian. Untuk memungkinkan perceraian, harus ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan di depan Sidang Pengadilan.
Perceraian Dalam Undang-UNdang Perkawinan
Pasal 38 Ayat (1) Undang-Undang Perkawinan menerangkan bahwa perceraian adalah salah satu bentuk dari sebab putusnya
perkawinan. Perceraian tentunya juga melahirkan konsekuensi tertentu yaitu: harta, hak asuh anak dan status pernikahan. Secara hukum konsekuensi akibat putusnya perkawinan karena perceraian tersebut diatur dalam Pasal 41 Undang-Undang Perkawinan diantaranya yaitu:
1.Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan
mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusan nya;
2.Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan
dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam
kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;
3.Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk
memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu
kewajiban bagi bekas isteri.
Secara hukum konsekuensi akibat putusnya perkawinan karena perceraian tersebut diatur dalam Pasal 41 Undang-Undang Perkawinan diantaranya yaitu:
1.Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan
mendidik anak-anaknya, sematamata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya;
2.Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;
3.Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.
Akibat hukum perceraian menurut Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dapat dilihat akibat hukumnya yaitu:
1.Terhadap pemeliharaan anak, yaitu kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya yang berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus. Di mana pemeliharaan anak yang belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya, pemeliharaan
anak yang sudah berumur 12 tahun diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya dan biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.
2.Terhadap harta bersama, pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta isteri karena perkawinan di mana harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya, adapun apabila terjadi perselisihan antara suami-isteri tentang harta bersama, maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada Pengadilan Agama/Pengadilan Negeri setempat, kemudian pertanggungjawaban terhadap utang suami atau isteri dibebankan pada hartanya masing-masing, sedangkan pertanggungjawaban terhadap utang yang dilakukan untuk kepentingan keluarga, dibebankan kepada harta bersama dan bila harta bersama tidak mencukupi, dibebankan kepada harta suami serta bila harta suami tidak ada atau tidak mencukupi dibebankan kepada harta isteri. Akibat lain dari perceraian adalah menyangkut masalah harta benda perkawinan khususnya mengenai harta bersama bahwa bila perkawinan putus karena perceraian, maka harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing yaitu menurut hukum agama, hukum adat dan hukum lain-lainnya.
3.Terhadap nafkah, dalam embi islam maka biaya isteri yang telah ditalak oleh suaminya tidak menjadi tanggungan suaminya lagi, terutama dalam perceraian itu si-isteri yang bersalah. Namun dalam hal isteri tidak bersalah, maka paling tinggi yang diperolehnya mengenai biaya hidupnya ialah pembiayaan hidup selama ia masih dalam masa iddah yang lebih kurang selama 90 ( embilan puluh) hari. Tetapi sesudah masa iddah, suami tidak perlu lagi membiayai bekas isterinya lagi. Kemudian apabila bekas isteri tidak mempunyai mata pencaharian untuk nafkah sehari-harinya, maka bekas suami harus memberikan biaya hidup sampai bekas isterinya itu menikah lagi dengan pria lain.
Pasal 126 KUHPerdata mengatur bahwa perceraian mengakibatkan bubarnya harta bersama sehingga harta bersama tersebut harus dibagi diantara pasangan suami istri. Seiring dengan pengertian harta bersama perkawinan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan KUHPerdata, Kompilasi Hukum Islam juga mengatur pengertian tentang harta bersama yang sama seperti dianut dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan KUHPerdata di atas. Harta bersama perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam diistilahkan dengan istilah “syirkah” yang berarti harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami istri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun.
Akibat hukum yang menyangkut harta bersama berdasarkan Pasal 37 Undang-Undang Perkawinan diserahkan kepada para pihak yang bercerai tentang hukum mana dan hukum apa yang akan berlaku, dan jika tidak ada kesepakatan antara mantan suami istri, hakim dapat mempertimbangkan menurut rasa keadilan yang sewajarnya. Dengan demikian, akibat suatu perceraian terhadap harta bersama bagi setiap orang dapat berbeda-beda, tergantung dari hukum apa dan mana yang akan digunakan para pihak untuk mengatur harta bersama. Dasar hukum tentang harta bersama dapat ditelusuri melalui Undang-Undang dan peraturan berikut:
1.Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Pasal 35 ayat (1), disebutkan bahwa yang dimaksud dengan harta bersama adalah “Harta benda yang diperoleh selama masa perkawinan”. Artinya, harta kekayaan yang diperoleh sebelum terjadinya perkawinan tidak disebut sebagai harta bersama.
2.Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 119, disebutkan bahwa “Sejak saat dilangsungkannya perkawinan, maka menurut hukum terjadi harta bersama antara suami istri, sejauh tentang hal itu tidak diadakan ketentuan-ketentuan lain dalam perjanjian perkawinan. Harta bersama itu, selama perkawinan berjalan, tidak boleh ditiadakan atau diubah dengan suatu persetujuan antara suami istri”
3.Kompilasi Hukum Islam Pasal 85, disebutkan bahwa “Adanya harta bersama di dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami istri”. Di dalam pasal ini disebutkan adanya harta bersama dalam perkawinan, akan tetapi tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami istri
Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, masalah harta bersama hanya diatur secara singkat dan umum dalam Bab VII terdiri dari Pasal 35 sampai Pasal 37. Kemudian diperjelas oleh Kompilasi Hukum Islam dalam Bab XIII mulai dari Pasal 85 sampai Pasal 97.4 Terjadi perceraian maka pembagian dari harta yang telah disyirkahkan meliputi modal awal dan hasil dari usaha tersebut. Apabila modal usaha tersebut berasal dari salah satu dari mereka maka modal tersebut harus dikembalikan kepada si pemilik. Sementara itu, menurut UndangUndang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama dan apabila perkawinan putus karena perceraian harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.
Harta bersama adalah harta kekayaan yang diperoleh selama perkawinan diluar hadiah atau warisan, maksudnya adalah harta yang didapat atas usaha pasangan suami istri selama masa ikatan perkawinan. Pembagian harta bersama lewat Pengadilan Agama, bisa diajukan serempak dengan pengajuan gugatan perceraian (kumulatif) atau dapat pula digugat tersendiri setelah putus perceraian baik secara langsung oleh yang bersangkutan maupun memakai jasa pengacara. Pemeriksaan pembagian harta bersama dalam hal yang kumulatif dilakukan setelah pemeriksaan gugatan cerai. Apabila gugatan cerainya ditolak, maka pembagian harta bersamanya juga ditolak. Karena pembagian harta bersama tersebut menginduk pada gugatan cerai. Kecuali kalau meminta pemisahan harta bersama, karena salah satu pihak dikuatirkan atau bahkan terbukti menghilangkan harta bersama dengan permohonan tersendiri melalui gugatan harta bersama. Pasal 150 KUHPerdata, menyatakan:
“Dalam hal tak adanya persatuan harta kekayaan, soal masuknya barang-barang bergerak, terkecuali surat surat pendaftaran dalam buku besar tentang perutangan umum surat-surat efek dan surat-piutang lainnya atas nama, tak dapat dibuktikan dengan cara lain, melainkan dengan cara mencantumkannya dalam perjanjian kawin atau dengan surat pertelaan, yang ditanda tangani oleh Notaris dan para yang bersangkutan, surat mana harus dilekatkan pula pada surat asli perjanjian kawin, dalam mana yang itu harus dicatatkan pula”.
Pernyataan Pasal 150 KUHPerdata tersebut di atas menjelaskan bahwa harta yang diperoleh dalam masa perkawinan adalah harta bersama, harta bawaan, hibah, warisan merupakan harta yang menjadi hak bagi yang mendapatkannya. Memperhatikan peraturan itu, tentunya perlu diikuti dengan pencatatan harta-harta yang sifatnya bukan harta bersama. Perbedaan mengenai harta bawaan dan harta bersama. Pasal 86, 87, dan 91 Kompilasi Hukum Islam tidak membedakan antara harta bawaan dan harta bersama
Sementara itu, Pasal 150 KUHPerdata membedakan harta bawaan dan harta bersama. Perbedaan mengenai pengertian harta bawaan dan harta bersama tersebut mempengaruhi pembagian harta bersama setelah pasangan suami istri bercerai. Perbedaan pada pembagian harta bersama menurut Kompilasi Hukum Islam berdasarkan pada Pasal 97 harta bersama setelah perceraian dibagi rata, masing-masing ½ bagian antara suami dan isteri sama. Sementara itu, menurut KUHPerdata pembagian dapat dilakukan atas bukti-bukti yang diajukan oleh penggugat dan tergugat. Pengajuan bukti yang lemah memperoleh pembagian harta bersama lebih banyak, dalam kasus pengajuan bukti yang kuat dimiliki oleh penggugat sehingga penggugat memperoleh bagian ¾ bagian dan tergugat memperoleh ¼ bagian
Dengan demikian pembagian harta bersama menurut Pasal 128 KUHPerdata bahwa setelah bubarnya harta bersama, kekayaan bersama dibagi dua antara suami dan isteri, tetapi dapat terjadi perubahan pembagian sesuai bukti-bukti secara hukum dalam proses peradilan.