Analisis Hukum Kasus Dugaan Penodaan Agama Oleh Desak Made Darmawati
Penulis pada kesempatan ini akan mencoba memaparkan suatu kasus yang sedang viral pada sekitar tanggal 19 April 2021 yaitu Video ceramah Desak Made Darmawati yangmenceritakan pengalaman bu Desak saat menganut agama Hindu, beberapa tahun lalu.
Perbuatan Bu Desak seorang Dosen Kewirausahaan Perguruan Swasta di Jakarta, oleh sejumlah kalangan dan kelompok masyarakat Bali serta pejabat pemerintahan, diduga atau dianggap telah menistakan atau merendahkan ajaran Hindu.
Beberapa hari berselang kemudian, Bu Desakmenyampaikan permintaan maaf yang bunyinya pada pokoknya: "Setelah memperhatikan masukan, saran dan kritik dari berbagai pihak, maka dengan penuh kesadaran dan kerendahanhati saya mengakui dan menyadari bahwa pernyataan saya telah melukai masyarakat atau umat Hindu dan pemuka Hindu serta kehidupan umat beragama yang harmoni di dalam masyarakat kita" lebih lanjut Bu Desak mengatakan "Oleh karena itu, dengan kerendahan hati saya menyampaikan permohonan maaf kepada segenap masyarakat atau umat Hindu dan pemuka agama Hindu serta segenap masyarakat Indonesia"
Apakah Proses Pidana Tetap Berjalan Meski Dimaafkan? dan Bagaimana Aturan Hukumnya?
Akan menarik untuk dianalisis secara hukum, apakah permintaam maaf dapat menghilangkan aspek pidana, kendatipun pemintaan maaf itu telah diterima oleh Ketua Umum PHDI, Bapak Wisnu Bawa Tenaya yang mengatakan, “pihaknya menerima dengan sepenuh hati atas permohonan maaf dari Made Darmawati”.
Perbuatan bu Desak oleh sejumlah kalangan dianggap/diduga telah melangar pasal 156a KUHP (delik penodaan agama) rujukannya adalah Pasal 4 UU No. 1/PNPS/1965 Tentang Pencegahan dan Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama (UU No. 1/PNPS/1965) yang berbunyi: ”Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalah-gunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.”
Permasalahan mendasar yang terkandung dalam Pasal ini yang menarik untuk dibahas adalah mengenai:
- Apakah yang dimaksud dengan penodaan agama? Karena tidak adanya definisi yang jelas dalam UU DI Indonesia Baik dalam KUHP maupun UU No.1/PNPS/1965, tidak mengatur penjelasan mengenai kriteria apa saja yang harus terpenuhi untuk dapat memenuhi unsur suatu perbuatan sebagai penodaan agama. Karena apa yang dianggap seseorang menodai agama, belum tentu dianggap orang lain sebagai penodaan.
- Bagaimana cara membuktikan penodaan agama? Lebih jauh lagi, siapa yang memiliki otoritas untuk menentukan penodaan agama telah terjadi mengingat masing-masing ahli agama boleh jadi berbeda pendapat?
Ketidakjelasan kriteria penodaan agama dalam pasal 156a KUHP, akan bertentangan dengan asas lex certa (hukum pidana harus relatif jelas) sebagai bagian dari asas legalitas (Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada).
Ketidakjelasan tersebut akan membuka peluang terjadinya multitafsir dan interpretasi-interpretasi subjektif masing-masing pihak dan ini tentu akan sangat berbahaya. Mengingat kekhususan hukum pidana yang sudinya dipegang teguh adalah prinsip ultimum remedium (subsidiaritas) yang menjadikan pidana/pemenjaraan adalah sebagai upaya terakhir.
Terkait pelaku penyebarluasan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), ini dapat dijerat dengan Pasal 28 ayat 2 UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE (yang telah diubah oleh UU No. 19 Tahun 2016).
Dengan ancaman penjara dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar, sesuai dengan ketentuan Pasal 45A ayat (2) UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE. Karena tujuan pasal ini adalah untuk mencegah terjadinya permusuhan, kerusuhan, atau bahkan perpecahan yang didasarkan pada SARA akibat informasi negatif yang bersifat provokatif. Sehingga Pasal ini diatur dalam delik formil, dan bukan delik materil.
Bagaimana pengaturan hukum perihal perbuatan bu Desak yang diduga dilakukan di luar Bali, apakah perbutannya dapat dilaporkan di Polda Bali? perbuatan bu desak sebenarnya dapat juga dilaporkan di polda Bali sesuai dengan ketentuan pasal 84 ayat (2) KUHAP (dengan mengecualikan asas locus delicti) yang berbunyi : “Pengadilan negeri yang di dalam daerah hukumnya terdakwa bertempat tinggal, berdiam terakhir, di tempat ia diketemukan atau ditahan, hanya berwenang mengadili perkara terdakwa tersebut, apabila tempat kediaman sebagian besar saksi yang dipanggil lebih dekat pada tempat pengadilan negeri itu daripada tempat kedudukan pengadilan negeri yang di dalam daerahnya tindak pidana itu dilakukan.” Hal ini sebenarnya sejalan dengan Peraturan Kapolri No. 6 Tahun 2019 tentang Pencabutan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 14 Tahun 2012 Tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.