ALAT BUKTI SURAT DALAM PERKARA PERCERAIAN
Dalam perkara perceraian biasanya yang dipermasalahkan adalah mengenai apakah benar rumah tangga antara Penggugat dan Tergugat sudah tidak harmonis lagi?.
Bila memperebutkan hak asuh anak maka yang menjadi pertanyaan adalah apakah Penggugat atau Tergugat telah sesuai hukum memenuhi syarat untuk sebagai pemegang hak asuh?
Bilamana perkara perceraian yang diajukan di depan sidang dilandaskan pada alasan karena terjadinya perselisihan dan pertengkaran (Pasal 22 ayat (2) PP No. 9 Tahun 1975) maka saksi dalam sidang dapat berasal dari keluarga atau orang dekat Penggugat atau Tergugat.
Penggugat umumnya mengajukan bukti surat berupa asli akta perkawinan atau akta nikah atau bisa berupa surat keterangan kawin dari Kantor Dukcapil setempat. Bukti tersebut merupakan prima facie evidence (bukti utama) terhadap adanya suatu perkawinan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Dimana bukti tersebut memiliki kekuatan pembuktian sempurna (volledig) bahwa antara Penggugat dan Tergugat adalah suami istri yang sah.
Penggugat dalam hal ini memiliki legal standing untuk mengajukan gugatan cerai sebab bukti tersebut memiliki kekuatan mengikat (bidende) bagi Penggugat dan Tergugat. Bilamana terdapat bukti fotokopi atau bukan asli, maka bilamana bukti fotokopi tersebut telah diakui atau disetujui oleh pihak lawan maka berdasarkan Yurisprudensi MA No. 410 K/Pdt/2004 tanggal 25 April 2005 maka bukti tersebut dapat diterima sebagai alat bukti.
Apakah bukti percekapan WhatsApp bisa menjadi alat bukti?
Dalam perkembangan kini, para pihak kerap melampirkan bukti prin out percakapan Whatsapp, bukti tersebut tidaklah masuk dalam kategori bukti dalam Pasal 284 Rbg, namun bukti tersebut masuk dalam bukti sebagaimana dalam Pasal 1 angka 1 UU ITE, maka sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (2) UU ITE maka bukti itu dapat diterima sebagai alat bukti dengan syarat yaitu dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
Bila merujuk pada Pasal 6 dan Pasal 15 UU ITE maka dibutuhkan ahli digital forensic yaitu ahli di bidang Teknologi dan Informatika untuk dihadirkan dalam persidangan untuk menilai bukti tersebut sehingga dapat diketahui kebenaran tentang bukti tersebut. Ahli digital forensic dapat membantu Majelis Hakim menilai bukti tersebut apakah bernilai sebagai bukti permulaan (begin vrij bewijskracht) dan secara materiil dapat diterima sebagai alat bukti.
Dalam hal perkara perceraian yang disebabkan karena adanya pihak yang melakukan KDRT, umumnya yang diajukan adalah bukti surat berupa surat pengaduan/Laporan Polisi. Bila bukti surat yang diajukan misalnya Laporan pengaduan Penggugat di Kepolisian, yang mana bukti tersebut bukan bukti autentik maka nilai pembuktiannya bersifat bebas. Berbeda hal nya bila yang diajukan bukti adalah Surat Pemberitahuan Penghentian Penyidikan (SP3) yang dikeluarkan Kepolisian, maka bukti tersebut adalah bukti autentik yang mempunyai nilai pembuktian sempurna dan mengikat.