Perlindungan Anak Dalam UU No. 23 Tahun 2002
Dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak diatur secara spesifik anak dalam situasi khusus. Berikut penjelasan lebih lengkapnya.
8 Keadaan atau Situasi Anak yang berhak atas perlindungan khusus
1.Anak dalam situasi darurat, terdiri atas:
a.pengungsi anak;
b.anak korban kerusuhan;
c.anak korban bencana alam;
d.anak dalam situasi konflik bersenjata (Pasal 60);
2.Anak berhadapan dengan hukum (Pasal 64);
3.Anak kelompok minoritas dan terisolasi (Pasal 65);
4.Anak yang dieksploitasi ekonomi dan atau seksual (Pasal 66);
5.Anak korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, dan psikotropika, dan zat adiktif lainnya (Pasal 67);
6.Anak korban penculikan, penjualan, dan perdagangan (Pasal 68);
7.Anak korban kekerasan (Pasal 69);
8.Anak penyandang cacat (Pasal 70);
9.Anak korban perlakuan salah (Pasal 71).
Namun, dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak tidak memberikan bentuk-bentuk dan cara memperoleh perlindungan khusus bagi semua bentuk anak tersebut. Secara umum dikemukakan bahwa anak yang membutuhkan perlindungan khusus (versi pasal 59) berhak atas perlindungan, pencegahan, perawatan, rehabilitasi, dan pengawasan.
Dengan kata lain, tidak secara eksplisit dikemukakan bentuk-bentuk perlindungan khusus yang diterapkan terhadap anak yang membutuhkan perlindungan khusus. Dalam Pasal 60 ditentukan, anak dalam situasi darurat yang terdiri atas anak yang menjadi pengungsi, anak korban kerusuhan, anak korban bencana alam, dan anak dalam situasi konflik bersenjata. Perlindungan anak yang menjadi pengungsi sesuai hukum humaniter (vide pasal 61). Sedangkan menurut pasal 62, anak korban kerusuhan, korban bencana, dan anak dalam situasi konflik bersenjata (Pasal 60 huruf b, c, d) dilaksanakan melalui:
a.pemenuhan kebutuhan dasar (pangan, sandang, pemukiman, pendidikan, kesehatan, belajar dan berekreasi, jaminan keamanan, dan persamaan perlakuan);
b.pemenuhan kebutuhan khusus bagi anak yang menyandang cacat dan anak yang mengalami gangguan psikososial.
Dalam Pasal 63 ditegaskan larangan bagi setiap orang merekrut atau memperalat anak untuk kepentingan militer dan/atau lainnya dan membiarkan anak tanpa perlindungan jiwa. Anak yang berhadapan dengan hukum meliputi anak yang menjadi pelaku dan anak korban tindak pidana (vide pasal 64). Kepada anak pelaku tindak pidana dilakukan perlindungan khusus melalui:
a.perlakuan secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak;
b.penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini;
c.penyediaan sarana dan prasarana khusus;
d.penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak;
e.pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum;
f.pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau keluarga; dan
g.perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi.
Anak korban tindak pidana, perlindungan khusus dilaksanakan melalui:
a.upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga;
b.upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi;
c.pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik fisik, mental, maupun sosial; dan
d.pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara.
Dalam Pasal 65 diatur perlindungan khusus anak dari kelompok minoritas dan terisolasi melalui penyediaan prasarana dan sarana untuk dapat menikmati budayanya sendiri, mengakui dan melaksanakan ajaran agamanya sendiri, dan menggunakan bahasanya sendiri. Ditentukan pula, setiap orang dilarang menghalang-halangi anak untuk menikmati budayanya sendiri, mengakui dan melaksanakan ajaran agamanya, dan menggunakan bahasanya sendiri tanpa mengabaikan akses pembangunan masyarakat dan budaya.
Pasal 66 mengatur perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, yang dilakukan melalui:
a.penyebarluasan dan/atau sosialisasi hukum yang terkait;
b.pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi;
c.pelibatan pemerintah, perusahaan, serikat pekerja, LSM, dan masyarakat dalam penghapusan eksploitasi ekonomi dan seksual terhadap anak.
Pasal 66 berisi larangan menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi terhadap anak. Menurut pasal 67, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza) dan anak-anak yang terlibat dalam produksi dan distribusinya, dilakukan melalui upaya pengawasan; pencegahan; perawatan; dan rehabilitasi. Juga, dilarang sengaja menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan anak dalam penyalahgunaan, produksi dan distribusi napza.
Menurut pasal 68, perlindungan anak korban penculikan, penjualan, dan dilakukanmelalui upaya pengawasan, perlindungan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi. Juga, dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan penculikan, penjualan, atau perdagangan anak.
Dalam Pasal 69 diatur perlindungan khusus anak korban kekerasan, baik kekerasan fisik, psikis, dan seksual. Perlindungannya melalui upaya:
a.penyebarluasan dan sosialisasi hukum yang terkait;
b.pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi.
Diatur pula, larangan menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak. Terhadap anak menyandang cacat, perlindungannya dilakukan melalui upaya:
a.perlakuan anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak anak;
b.pemenuhan kebutuhan-kebutuhan khusus; dan
c.memperoleh perlakuan yang sama dengan anak lainnya untuk mencapai integrasi sosial sepenuh mungkin dan pengembangan individu (pasal 70).